KEBIASAAN ZUGITO MENGKRIMINALISASI WARTAWAN KEMUDIAN MINTA DAMAI     

oleh
oleh

 

KEBIASAAN ZUGITO MENGKRIMINALISASI WARTAWAN KEMUDIAN MINTA DAMAI

OLEH UPA LABUHARI SH MH

 

Masih teringat jelas peristiwanya walaupun sudah berlangsung lebih tujuh tahun. Waktu itu di bulan Maret tahun 2016 bertepatan dengan sidang kedua perkara pidana khusus yang teregister pada nomor 1042/Pid.sus /2016 /PN Makassar di Pengadilan Negeri Makassar .

Perkara pidana khusus ini  merupakan dugaan pencemaran nama baik terhadap Zulkifli Gani Ottoh yang terkenal dengan panggilan Zugito mantan Ketua PWI Sulsel. Ketika waktu perkara ini digelar di PN Makassar Zugito sebagai Ketua Dewan Kehormatan PWI Sulsel. Sementara tertuduh perkara ini adalah Kadir Sijaya yang waktu itu bekerja sebagai wartawan sebuah media di Makassar.

Kadir Sijaya dituduh pada suatu hari di bulan Nopember 2015 atau setidak tidaknya diwaktu lain dalam bulan Nopember 2015 telah menulis di dalam akunnya Kadir Sijaya tentang adanya penyewaan Gedung PWI Sulsel ke pihak Alfamart yang dananya di kantongi sendiri oleh Zugito di facebook sehingga oleh Zugito dianggap sebagai  perbuatan pencemaran nama baiknya selaku mantan Ketua PWI Sulsel dan selaku Ketua Dewan Kehormatan PWI Sulsel.

Sebagai kuasa hukum Kadir Sijaya sebelum sidang kedua ini dimulai pukul 13.00 Wita, Saya dan Kadir Sijaya  dipanggil oleh jaksa penuntut umum untuk datang ke ruangannya di kantor Kejaksaan Negeri Makassar yang letaknya berdampingan dengan PN Makassar di jalan Amanagappa nomor 15 Makassar .

Panggilan ini saya penuhi bersama tertuduh Kadir Sijaya ( 47 tahun) yang terlihat lusuh dan tidak bersemangat karena sudah lima bulan lamanya mendekam dalam Lembaga Pemasyarakatan Makassar atas laporan yang disampaikan oleh Zugito  kepada pihak Polrestabes Makassar.

Selama perjalanan kaki dari ruang sidang ke kantor Jaksa Penuntut Umum, tertuduh Kadir Sijaya tidak berbicara satu katapun kepada saya penasehat hukumnya. Ia hanya terlihat meminta ijin kepada istrinya yang setia mengikuti persidangan ini bersama dengan beberapa wartawan Sulsel yang prihatin atas nasib Kadir Sijaya yang diperlakukan sebagai seorang pesakitan, ‘’penjahat besar’’ di Kota Makassar.

Sampai di ruang jaksa penuntut umum perkara ini yang berada dilantai dua, Gedung Kejaksaan Negeri Makassar, saya dan Kadir Sijaya dipersilahkan duduk oleh Jaksa yang didampingi oleh Zugito. Rupaya pertemuan ini digagas oleh Zugito untuk melancarkan keinginannya berdamai.

Setelah kami berdua duduk, jaksa penuntut umum membuka pembicaraan yang menurut saja tidak masuk akal. Begini kata jaksa’’ sebelum sidang di mulai hari ini majelis hakim meminta kepadanya untuk dilakukan perdamaian antara tertuduh Kadir Sijaya dengan pelapor Zugito ‘’. Kata-kata permintaan jaksa ini, selama saya jadi pengacara  mendampingi tersangka perkara kriminal, baru kali ini saya mendengarnya, ‘’ ada permintaan majelis hakim untuk berdamai’’.

Pertanyaan jaksa ini, langsung saya jawab dengan tegas’’ buat apa pelapor Zugito minta damai dengan klien saya, Kadir Sijaya . Kalau mau damai, sebenarnya Zugito melakukannya beberapa hari setelah klien saya mendekam dalam Lembaga Pemasyarakatan Makassar. Bukan sekarang dikala perkaranya sudah berlangsung di Pengadilan dan yang bersangkutan sudah menjalani penahanan selama lima bulan.

Mendengar jawaban yang tegas ini , jaksa dan Zugito terdiam sejenak tidak berkomentar langsung. Baru beberapa saat  kemudian dengan wajah memelas , Zugito mau berbicara tapi dipotong oleh jaksa penuntut umum dengan mengatakan.’’ Jika perdamaian dapat dilaksanakan hari ini dengan menandatangani berita acara perdamaian, persidangan  akan dihentikan pemeriksaannya oleh Pengadilan Negeri Makassar sehingga Kadir Sijaya pada hari ini juga boleh menikmati udara bebas dari penahanan. ‘’  ujar sang jaksa yang disambut dengan senyum di mimik muka Zugito’’.

Jawaban dari jaksa ini kemudian saya tangkis dengan lebih tegas lagi dengan mengatakan. ’’ Karena yang akan mengalami penghukuman atas perkara pidana khusus ini adalah  Kadir Sijaya, maka keputusannya saya sebagai kuasa hukum menyerahkannya kepada terdakwa. Ia mau terima perdamaian ini saya setuju. Tapi kalaupun Kadir Sijaya tidak mau mengikutinya, saya selaku kuasa hukum amat mendukungnya’’.

Pernyataan saya yang tegas ini langsung disambut oleh Kadir Sijaya walaupun belum ditanya oleh Jaksa penuntut umum apakah setuju atau tidak atas penjelasan saya itu . Oleh terdakwa Kadir Sijaya langsung di jawab ‘’ saya mengikuti apa kata kuasa hukum saya. Dia menolak berarti sayapun ikut menolaknya untuk damai ’’.

Jawaban terdakwa Kadir Sijaya ini membuat jaksa dan Zugito kembali terdiam. Baru beberapa saat kemudian jaksa menyebut, ‘’ kalau demikian permohonan pelapor dalam hal ini Zugito,untuk ‘’berdamai’’tidak terlaksana hari ini. Kita sekarang ke Pengadilan untuk melanjutkan persidangan kedua.

Sebagai kuasa hukum terdakwa setelah mendengar ketegasan  Kadir Sijaya, saya berjanji dalam hati.’’ ketulusan Kadir Sijaya tidak boleh saya sia-siakan’’. Sayapun berbicara  kepada tim pengacara LBH Makassar yang juga mendampingi Kadir Sijaya sebagai kuasa hukum dalam perkara ini untuk serius mendampingi terdakwa dalam perkara ini. Penyampaian pesan saya ini  yang disambut oleh  dua pengacara LBH dengan ucapan ‘’ pasti’’.

Ketika persidangan berlangsung selama satu jam dari pukul 14.00 Wita, tidak satu pun kata yang muncul dari majelis hakim yang dipimpin Kemal Tampubolon SH, MH dan hakim anggota A Majid SH, MH dan Made Subagia Astawa yang menyebut tentang ‘’gagalnya perdamaian’’ yang ditawarkan jaksa pagi tadi. Dari sini selesai sidang saya berkesimpulan ‘’ damai’’ yang diinginkan oleh jaksa penuntut umum maupun Zugito sebagai pelapor perkara ini hanyalah  rekayasa semata mata setelah mereka mengetahui kelemahannya agar tidak dituntut balik oleh terdakwa Kadir Sijaya yang sudah mendekam dalam tahanan selama lima bulan.

Dalam hati bertanya ‘’mana mungkin suatu perkara pidana bisa dilakukan perdamaian  dipersidangan’’. Kalau mau damai di kantor Polisi atau jaksa sebelum perkara ini diajukan ke Pengadilan. ‘Ini pasti suatu rekayasa yang merupakan modal Zugito untuk tidak melanjutkan perkara yang diadukannya agar dia tidak kena gugatan balik dari Kadir Sijaya.

Sore harinya setelah selesai persidangan, saya bertemu lagi dengan Zugito di Bandara Sultan Hasanuddin yang saat itu sama sama mau kembali ke Jakarta. Dalam pertemuan itu, saya menyebutkan ‘’ kenapa baru sekarang minta damai. Kenapa tidak diawal penahanan Kadir Sijaya, Zugito minta damai.  ‘’ Oleh Zugito dijawab enteng kita lihat hasil pengadilan nanti.’’

Dalam persidangan terungkap dengan jelas bahwa betul ada penyewaan beberapa bagian Gedung PWI Sulsel yang merupakan milik Pemda Sulsel selama lima tahun sejak 2015 sebagaimana tertuang dalam akte perjanjian nomor 02 tanggal 13 Oktober 2015 yang dibuat dihadapan notaris Rasyida Usman, Notaris di Gowa, perbatasan Makassar . Uang sewa sebesar Rp 700 juta tidak masuk kedalam kas pengurus PWI Sulsel, tapi lewat rekening Yayasan Mesjid wartawan Sulsel yang waktu itu diketuai oleh Zugito. Uang sewa inilah yang menjadi dasar Pemda Sulsel selain dari pada putusan PN Makassar nomor 350/Pdt.G/2016/PN Makassar yang merupakan gugatan pengurus PWI Sulsel hasil rekayasa Zugito  untuk mengambil kembali Gedung PWI Sulsel dengan mengusir Pengurus PWI Sulsel  menempati Gedung tersebut berkantor pada Maret yang lalu.

Akibatnya selama lima bulan PWI Sulsel tidak punya kantor tetap. Pengurus PWI Sulsel berpindah pindah kantor sampai Agustus lalu baru punya kantor baru di pinggiran Kota Makassar di daerah Macini Sawah. Gedung perkantoran ini ketika diresmikan oleh Ketua PWI Pusat Atal Depari disebut sebagai  Gedung PWI Perjuangan yang dibeli dari hasil hibah Pemda Sulsel pengganti Gedung diklat dan masjid PWI yang ada dibelakang Gedung PWI Sulsel di jalan AP Pettarani.

Tapi ketika Pemda Sulsel mengumumkan pemberian hibah kepada masyarakat Sulsel dalam acara 17 Agustus di Makassar, nama organisasi PWI Sulsel tidak disebut  sebagai penerima hibah dari Pemda Sulsel untuk tahun 2023. Dengan demikian menjadi tanda tanya besar, benarkah Gedung PWI Sulsel yang disebut Gedung perjuangan dibeli dengan uang hibah dari Pemda Sulsel?. Semoga benar adanya sehingga tidak menjadi masalah  panjang tentang Gedung PWI Sulsel di AP Pettarani yang sekarang atapnya sudah dibongkar untuk tidak ditempati oleh Pengurus PWI Sulsel.

Setelah sidang perkara pidana khusus ini  berjalan selama enam bulan dengan terdakwa Kadir Sijaya, maka pada tanggal 13 Desember 2016 majelis hakim perkara ini memberi putusan bebas murni terhadap Kadir Sijaya karena terdakwa tidak terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan tunggal yang disampaikan oleh Jaksa penuntut umum.

Selain membebaskan terdakwa Kadir Sijaya dari tuntutan jaksa, majelis hakim juga memulihkan hak-hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.

Putusan ini diterima baik oleh terdakwa dan kuasa hukumnya dengan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa bahwa kebenaran itu tidak pernah salah. Tapi walaupun demikian, agar jaksa penuntut umum tidak mendapat demosi dari instansinya karena tuduhan dan tuntutannya tidak diterima oleh majelis hakim maka yang bersangkutan langsung Kasasi ke Mahkamah Agung.

Hasil pemeriksaan kasasih Mahkamah Agung yang dipimpin hakim agung Dr. Artijo Alkostar SH memutuskan menolak kasasi jaksa,  maka bebas murnilah Kadir Sijaya pada tanggal 27 November 2017  dari tuduhan Zugito yang mengkriminalisasikannya di Polrestabes Makassar sehingga ditahan lima bulan penjara.

//TIDAK PUAS//

Belum puas mengkriminalisasi Kadir Sijaya karena diduga mencemarkan nama baik Zugito pada tahun 2016, ia berbuat  hal yang sama lagi pada Maret 2022. Yang dikriminalisasi adalah wartawan senior Makassar bernama Andi Tonra Mahie karena menulis surat laporan kepada pengurus PWI Pusat, atas tindakan yang  tidak bagus dilaksanakan oleh Zugito.

Sebelum laporan itu dibuat Zugito  mensomasi Andi Tonra Mahie lewat kuasa hukumnya yang juga adalah wartawan senior di Makassar Dr. Amir SH, MH bersama Muhammad Fadli,SH, MH dan Samiruddin, SH.

Dalam somasi itu yang ditulis oleh tim kuasa hukum Zugito pada tanggal 12 Maret 2022 disebutkan Andi Tonra Mahie telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan atau dugaan pencemaran nama baik atas surat laporannya ke Ketua PWI Pusat harus dicabut.

Sebagai kuasa hukum Andi Tonra Mahie, saya jawab surat somasi itu dengan mengatakan, klien kami tidak akan mencabut surat laporannya kepada Ketua PWI Pusat tertanggal 18 Maret 2022 karena hal itu merupakan informasi yang ditujukan kepada ketua induk organisasi dimana Andi Tonra Mahie sebagai  anggotanya.

Kami kuasa Andi Tonra Mahie siap menghadapi laporan Zugito dengan mengingatkan kembali jika tidak ada buktinya laporan itu dan di hentikan penyidikannya oleh Polrestabes Makassar, maka Andi Tonra Mahie akan membuat laporan balik sebagai laporan mengadu dan memfitnah  sebagaimana diatur dalam pasal 317 KUHP yang ancaman hukumannya 4 tahun.

Surat somasi balik ini membuat Zugito melakukan pelaporan ke Polrestabes Makassar dengan nomor laporan LP/825/2022/POLDA SULSEL/RESTABES MKS tertanggal 12 Mei 2022. Sebelum melapor ke Polrestabes Makassar, terlebih dahulu Zugito minta dukungan kepada pengurus PWI Sulsel dan Ketua PWI Pusat lewat telekonfrensi agar laporannya bisa ditangani penyidik dengan baik. Selain itu ia  membaca surat tangapan balik ketua PWI Pusat yang ditandatangani oleh Atal S Depari dan Mirza Zulhadi  terhadap surat laporan Andi Tonra Mahie.

Surat tanggapan balik Pengurus PWI Pusat bernomor 1595/PWI-P/LXXVI/2022 pada intinya menyebutkan, tudingan Andi Tonra Mahie bahwa terjadi kerengganan antara Pemda Sulsel dengan Pengurus PWI Sulsel tidaklah sesuai fakta dan kami nilai cukup tendensius.

Surat balasan Ketua PWI Pusat atas laporan Andi Tonra Mahie saya rasa sebagai kuasa hukum merupakan tindakan tendensius membela Zugito karena laporan Andi Tonra Mahie menjadi kenyataan beberapa hari kemudian setelah Pemda Sulsel menyatakan Pengurus PWI Sulsel harus meninggalkan Gedung milik Pemda Sulsel yang ada di jalan AP Pettarani 31.

Sepertinya Pengurus PWI Sulsel tidak punya wibawa pada saat itu sebagai mitra Pemda Sulsel. Dan sampai sekarang gedung ini tidak berani digunakan oleh Pengurus PWI Sulsel karena Pemda Sulsel sudah tidak percaya kepada organisasi PWI untuk menggunakan gedung milik Pemda Sulsel sebagai perkantoran.

Dalam pernyataannya kepada pers di Sulsel setelah mendapat dukungan dari Ketua PWI Sulsel dan Ketua PWI Pusat untuk mengkriminalisasi Andi Tonra Mahie, Zugito menyatakan dirinya siap untuk memberikan maaf kepada Andi Tonra Mahie atas perbuatannya yang melecehkan dirinya dengan membuat pengaduan kepada pengurus PWI Pusat .

Pernyataan ini saya balas sebagai kuasa hukum Andi Tonra Mahie dengan ketegasan bahwa Andi Tonra Mahie tidak perlu dimaafkan, lanjutkan saja persoalan ini di penyidik Polrestabes Makassar.  Sama seperti ketika kasus Kadir Sijaya, kami terlapor tidak akan menerima perdamaian dari Zugito.

Dan sampai saat ini pelaporan Zugito di penyidik Polrestabes Makassar masih terkatung katung karena beberapa tokoh pers yang dimintai pendapatnya mengatakan pelaporan Andi Tonra Mahie adalah pelaporan biasa antara anggota dengan pengurus suatu organisasi professional.

Untuk itu menurut penyidik pelaporan ini belum ditemukan bukti tindak pidananya. Kepada kami kuasa hukum Andi Tonra Mahie, penyidik meminta agar dilakukan jalan damai saja dengan pelapor Zugito. Tawaran ini kami tolak dan tetap bertahan untuk dapat dilanjutkan  penyelidikannya sampai ditemukan bukti adanya perbuatan pidana.

Sebab sudah terbukti bahwa laporan Andi Tonra Mahie  ada benarnya, Pengurus PWI Sulsel telah diusir oleh Pemda Sulsel untuk tidak menggunakan lagi  Gedung PWI Sulsel di jalan AP Pettarani nomor 31 Makassar karena adanya kerengganan antara Zugito dengan Pemda Sulsel soal penyewaan gedung ini kepada Alfamar selama lima tahun yang dananya sebesar Rp 700 juta tidak pernah disetor ke kas Pemda Sulsel.

Ada dugaan dana tersebut  digelapkan oleh penyewa yang tidak bertanggung jawab karena menyewakan gedung yang bukan miliknya. Dan hal ini pernah diusut oleh Polda Sulsel dan perkaranya dibawa ke Pengadilan Makassar tapi dinyatakan tidak terbukti sehingga KPK turun tangan sebagaimana suratnya nomor R 4128/40-43/10/2015.

Dengan adanya data diatas, dapatlah dikatakan bahwa putusan Dewan Kehormatan PWI Pusat yang mengskorsing Zugito dari keanggotan PWI karena kesalahannya  selama satu tahun sejak Oktober 2022, adalah terbukti dan menyakinkan. Putusan Dewan Kehormatan PWI Pusat yang sifatnya mengikat dan final seharusnya dijalani oleh Pengurus PWI Pusat bukan membiarkan orang yang dalam status terhukum menjadi Ketua SC dalam Kongres PWI di Bandung akhir September mendatang.

Kalau pengurus PWI Pusat tidak mau menjalankan putusan Dewan Kehormatan PWI Pusat maka persoalannya bisa panjang, Pengurus PWI Pusat bisa digugat oleh anggota yang taat pada putusan Dewan Kehormatan PWI sebagaimana diatur dalam PDPRT PWI.  Mau coba?,silahkan.

*** Penulis wartawan pengamat dan masalah Kepolisian

Paktisi hukum di Jakarta

No More Posts Available.

No more pages to load.