Walikota Antisipasi Kebocoran Dana Sampah, Ombudsman Periksa Dugaan Terjadinya Maladministrasi
Makassar-makassarpena.com. Dua periode kepemimpinan Danny Pomanto sebagai Walikota Makassar, terkait penerapan retribusi sampah sering kali masalah bermunculan.
Di akhir masa jabatannya, Danny gagas rencana penerapan pembayaran retribusi sampah lewat QRIS dengan alasan antisipasi kebocoran dana pembayaran tersebut.
Gagasan Danny Pomanto untuk pembayaran retribusi lewat QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) yang disampaikan kepada para jurnalis beberapa waktu lalu memang terbilang cukup baik. Tapi kalau memang ada dugaan keras terjadinya kebocoran selama ini bukan berarti karena tidak menggunakan QRIS, namun penerapan retribusi tersebut selama bertahun-bertahun diduga melanggar Perda Kota Makassar No 11 Tahun 2011 Tentang Retribusi Persampahan atau Kebersihan.
Olehnya itu Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Sulsel melakukan proses pemeriksaan dugaan terjadinya maladministrasi dalam penerapan pembayaran retribusi sampah yang melanggar perda tersebut. “Masih dalam proses pemeriksaan,” ungkap Ismu Iskandar, Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sulsel kepada MP, Kamis, 11 Juli 2024.
Berdasarkan data informasi yang berhasil dihimpung Jurnalis MP, tentang dugaan terjadinya maladministrasi dalam penerapan proses pembayaran retribusi sampah karena melanggar sejumlah ayat dan pasal yang tercantum dalam perda tersebut.
Sesuai pasal 9 ayat 4; pelayanan angkutan sampah rumah tangga ( door to door) Rp. 25.000/kubik/rumah/bulan. Artinya sampah rumah tangga harus dilakukan pengukuran kubikasi secara menual untuk menentukan jumlah pembayaran retribusi rata-rata setiap rumah. Faktanya pihak kelurahan menentukan harga Rp. 20.000/rumah/ bulan dengan estimasi setiap rumah memiliki sampah hampir 1 kubik setiap bulan tanpa melakukan pengukuran secara manual.
Pasal 13 Ayat 2; pembayaran retribusi dilakukan oleh wajib retribusi melalui petugas pemungut yang ditetapkan dengan keputusan Walikota. Faktanya, hanya para Ketua RT yang memungut dana sampah kepada warga, dengan sebutan “iuran”. Tampaknya istilah “iuran” tidak dikenal dalam perda tersebut, tapi yang kenal adalah kata “retribusi”.
Kemudian ayat 3; penyetoran dilakukan oleh petugas pemungut kepada bendahara penerima SKRD pengelola untuk selanjutnya disetorkan ke kas daerah. Faktanya, penyetoran dilakukan oleh Ketua RT ke Ketua RW, selanjutnya ke bendahara kelurahan kemudian ke kecamatan baru ke kas daerah.
Pasal 16 Ayat 2; retribusi dipungut dengan menggunakan SKRD atau dokumen lainnya yang dipersamakan. Ayat 3; dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud ayat 2 dapat berupa karcis, kupon dan kartu langganan. Faktanya, dokumen yang digunakan untuk pemungutan retribusi sampah hanya dibuat ketua RT masing-masing.
Pasal 27 Ayat 1; instansi yang melakukan pemungutan retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu. Ayat 2; pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan melalui APBD. Artinya dana retribusi sampah tersebut tidak bisa dipotong sebelum masuk kas daerah karena akan diberikan insentif. Faktanya, dana retribusi tersebut diduga keras dipotong untuk dana operasional.(dm)