SAATNYA KAPOLRI DIBERHENTIKAN SEMENTARA.
Oleh UPA LABUHARI SH MH
Jakarta-makassarpena.com. Hukum Tabur Tuai yang mengajarkan kepada kita semua umat manusia untuk tidak menabur angin atau kebohongan. Sebab taburan angin dan kebohongan akan menuai hasil badai ketidak percayaan. Dan badai ketidak percayaan itu akan teringat terus, walaupun pada akhirnya kebohongan itu diperbaiki dari kesalahan.
Rumusan hukum tabur tua ini, menjadi contoh utama dalam peristiwa pembunuhan terhadap Brigadir Nofriansyah Josua Hutabarak yang dikenal dengan sebutan Brigadir J di rumah atasannya Irjen Ferdy Sambo di jalan Duren Tiga Jumat 8 Juli llu. Kepercayaan masyarakat pada penyidik Polisi dalam mengusut perkara pembunuhan ini, begitu rendahnya walaupun sekarang ini sudah ditangani oleh suatu tim penyidik khusus bentukan Kapolri yang diketuai oleh Komisaris Jenderal Polisi Drs Gatot Edy, mantan Kapolres Jakarta Selatan dan Kapolda Metro Jaya.
Diawal pemberitaan peristiwa pembunuhan ini oleh Kadiv Humas Polri setelah tiga hari disembunyikan kejadiannya dari masyarakat, diketahui besarnya kebohongan yang disampaikan oleh penyidik Polri. Dikatakan kejadian itu adalah suatu peristiwa tembak menembak antar sesama ajudan Kadiv Propam Irjen Pol Drs Ferdy Sambo. Dalam tembak menembak ini, gugur seorang di antara mereka Bernama Brigadir Nofriansyah Josua Hutabarak yang dikenal dengan sebutan Brigadir J.
Seminggu setelah kebohongan demi kebohongan dilakukan oleh penyidik Polres Jakarta Selatan dan Polda Metro Jaya, timbul rasa tidak percaya masyarakat kepada penyidik Polri. Masyarakat lebih percaya kepada tim Komnas HAM maupun kepada tim dokter forensik ABRI yang diminta oleh Panglima ABRI untuk menolong memeriksa ulang mayat korban yang sudah sudah terkubur lebih dari satu minggu.
Ketidak kepercayaan masyarakat atas kerja Polisi mengusut peristiwa pembunuhan ini diperkuat oleh pernyataan pimpinan tertinggi Polri, Presiden Jokowi. Empat kali Presiden meminta Kapolri agar memerintahkan penyidik Polri yang menangani peristiwa peristiwa pembunuhan ini agar segera bertindak profesioanl.’’ Katakan kepada masyarakat apa adanya secara terbuka”, ujar Presiden. Dan menambahkan, ‘’Jika pelaku pembunuhan ini seperti yang diduga oleh masyarakat yakni Irjen Pol Drs Ferdy Sambo, ambil tindakan tegas kepadanya’’.
Demikian pula dengan oknum yang merekayasa peristiwa pembunuhan ini, perlu diberi hukuman sebagaimana yang diatur dalam kode etik profesi Kepolisian. ‘’Tahan mereka dan jadikan mereka apapun pangkat dan jabatannya sebagai ikut serta dalam peristiwa pembunuhan ini’’.
Perintah yang sebenarnya tidak perlu dikeluarkan oleh President tapi cukup dengan kewenangan Kapolri sebagaimana diatur dalam pasal 9 ayat (1) Undang Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian yang menyebutkan ‘’ Kapolri menetapkan, menyelenggarakan, dan mengendalikan kebijakan teknis Kepolisian ‘’.
Tapi kewenangan ini baru dilaksakan oleh Kapolri setelah minggu kedua dan ke tiga peristiwa pembunuhan itu terjadi. Akibatnya, bertumpuk kebohongan terjadi di tengah masyarakat karena Irjen Pol Drs Ferdy Sambo bebas untuk merekayasa pembunuhan ini sebagai peristiwa tembak menembak kepada oknum penyidik Polri yang menanganinya.
Baru setelah minggu ke empat peristiwa pembunuhan ini berlangsung, Kapolri mengambil suatu kebijakan dengan menonaktifkan Ferdy Sambo sebagai Kadiv Propam dan kemudian menjadikannnya sebagai tersangka pelaku pembunuhan. Ikut dijadikan tersangka, 36 orang anggota Polri berpangkat Bintara sampai Perwira tinggi yang diketahui ikut merekayasa maupun menghilangkan barang bukti peristiwa pembunuhan ini.
Walaupun ada beberapa masyarakat yang memuji keberanian Kapolri menetapkan Ferdy Sambo sebagai tersangka bersama 36 anggota Polri lainnya, tapi kebanyakan masyarakat yang setiap hari mengetahui perkembangan peristiwa ini lewat media massa, masih menyatakan ketidak percayaannya kepada penyidik Polri. Mereka menyatakan belum dapat mempercayai sepenuh hati kemampuan penyidik Polri mengungkap tuntas pembunuhan ini.
Ditambah lagi dengan adanya keterangan Kabareskrim Polri bahwa motif pembunuhan ini tidak akan diungkapkan ke publik untuk menjaga perasaan keluarga korban maupun keluarga pelaku.
Di tengah keraguan masyarakat pencari keadilan akan pengungkapan peristiwa pembunuhan ini, timbul suatu usulan yang tidak lasim terjadi di lingkup Polri. Usulan itu berupa, mengembalikan Polisi untuk masuk ke jajaran Menteri Dalam Negeri dan memberhentikan sementara waktu terhadap Jenderal Pol Drs Listyo Sigit Prabowo selaku Kapolri dan mengangkat pelaksana tugas Kapolri.
Mencermati usulan ini menurut penulis adalah tidak realistis mengembalikan kedudukan Polri kedalam lingkup Departemen Dalam Negeri seperti dimasa awal berdirinya Republik Indonesia hanya karena kasus Duren Tiga . Kepolisian RI masih layak untuk berdiri sendiri sebagai alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta memberikan perlindungnan, pengayoman dan dan pelayanan masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
Bahwa untuk memberhentikan sementara waktu terhadap Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri dan mengangkat pelaksana tugas Kapolri adalah sangat tepat dilaksanakan saat sekarang. Hal ini dimaksudkan dalam rangka membenahi pengusutan peristiwa pembunuhan di Duren Tiga agar tidak membawa dampak yang banyak di kalangan penyidik Polri karena melanggar kode etik maupun menghilangkan barang bukti. Maupun kepercayaan masyarakat terhadap Polri dalam pelaksanaan tugasnya memberi perlindungan, pengayoman dan pelayanan. Kepercayaan ini, sudah hilang karena sudah terlalu banyak kebohongan dari peristiwa pembunuhan ini diterima masyarakat dari penyidik Polri .
Lagi pula Undang Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian RI pasal 11 ayat (1) sampai ayat (8 ) mengizinkan Presiden ‘’dalam keadaan mendesak ‘’mengatur masalah penghentian sementara waktu terhadap Kapolri dan mengangkat pelaksana tugas Kapolri.
Perlukah hal ini dilakukan oleh Presiden Jokowi?. Menurut penulis perlu sekali dilaksanakan karena di dalam tubuh Polri sekarang telah terjadi sesuatu yang tidak lasim berlangsung di lembaga yang dipercaya masyarakat untuk menjaga kamtibmas di seluruh tanah air.
Sejak setengah abad lalu penulis mengamati keberadaan Polri, tidak pernah terjadi se rendah ini tindakan penyidik dalam melaksanakan tugasnya, berbohong atas suatu peristiwa yang menghilangkan nyawa orang lain. Yang ada biasanya mengubah tuduhan sebagai melanggar pasal 340 kitab Undang Undang Pidana menjadi pasal 338 yang ancaman hukumnya lebih rendah. Jarang ada penyidik yang berani menyebutkan suatu peristiwa pembunuhan dengan menggunakan senjata api sebagai suatu peristiwa tembak menembak.
Dan jarang pula ada suatu peristiwa pembunuhan yang disembunyikan peristiwanya sampai tiga hari setelah kejadian. Biasanya penyidik Polri yang mengetahui adanya suatu peristiwa pembunuhan dengan menggunakan senjata api, pada hari peristiwa itupun langsung diberitahu kepada masyarakat lewat berbagai media yang ada. Pemberitahuan cepat atas suatu peristiwa pembunuhan, dimaksudkan agar masyarakat dapat diharapkan partisipasinya untuk membantu Polri menangkap pelakunya.
Dengan demikian boleh dikatakan Polri sekarang ini ‘’berada dalam keadaan mendesak’’ untuk memperbaiki citranya setelah hampir dua tahun dipimpin oleh Jenderal Pol Drs Listyo Sigit Prabowo. Penggantian sementara Kapolri agar kepercayaan masyarakat terhadap institusi ini pulih kembali seperti sebelum peristiwa pembunuhan terhadap Josua Hutabarak. Semoga***
Penulis adalah wartawan dan praktisi hukum di Jakarta
Mantan Ketua Departemen Kepolisian PWI Pusat.