Zugito Bagai Memercik Air Didulang Terkena Muka Sendiri

oleh
oleh

Zugito Bagai Memercik Air Didulang Terkena Muka Sendiri

Oleh UPA LABUHARI SH MH

 

Makassarpena.com. Membaca Surat sanggahan  Zulkifli Gani Ottoh SH  terhadap putusan Dewan Kehormatan PWI tanggal 3 Oktober tentang hukuman  skorsing/pemberhentian sementara satu tahun dari keanggotaan PWI,  sepertinya yang bersangkutan tidak mengerti putusan tersebut. Ia  gagal paham akan  putusan Dewan Kehormatan PWI yang sudah mengikat dan final sebagaimana diamanatkan oleh PDPRT PWI.

Ia menyangka bahwa dengan surat sanggahannya itu yang ditujukan kepada Pengurus PWI Pusat pada tanggal 29 Oktober lalu akan membuahkan hasil sebagaimana diharapkannya untuk tidak diskorsing satu tahun dari keanggotaan PWI, atau paling tidak putusan itu dapat dianulir oleh Pengurus Harian PWI Pusat karena  akan mendapat simpati dari sesama anggota PWI diseluruh pelosok tanah air sebagai orang yang terzolimi dengan aturan yang sudah jelas tercantum dalam PDPRT.

Padahal jika dicermati surat sanggahan  itu, tidak lebih dari suatu pembelaan diri seolah-olah yang bersangkutan lebih pintar dari pengurus Dewan Kehormatan  dalam bidang organisasi kewartawanan. Zugito sepertinya tidak mengenal dirinya bahwa sebelum ia duduk sebagai ketua bidang organisasi PWI Pusat sejak tahun 2018, pengurus dan anggota Dewan Kehormatan yang berjumlah 9 orang sudah pernah menduduki jabatan terhormat di pengurus harian PWI Pusat sejak tahun 1998.

Rincian jabatan yang pernah dipegang oleh pengurus Dewan Kehormatan tidak perlu dibeberkan satu persatu, karena semua kita anggota PWI baik yang ada di pusat dan daerah tahu siapa jetuanya, siapa sekertarisnya dan anggotanya. Dengan demikian dapat disimpulkan dari segi manapun bicaranya soal organisasi wartawan, Zulkifli Gani Ottoh  yang akrab dipanggil Zugito, belum dapat disejajarkan dengan pengurus Dewan Kehormatan PWI Pusat.

Apalagi jika dibandingkan dalam karienya sebagai wartawan di lapangan, Zugito belum bisa ditandingkan. Ia belum pernah menjadi pemimpin redaksi ataupun pemimpin umum suatu media massa di Jakarta maupun di Makassar. Paling tinggi jabatan yang pernah digeluti dalam karier sebagai wartawan di lapangan baru setingkat redaktur pelaksana atau wakil pemimpin redaksi.  Jadi apa yang harus dibanggakan melawan keputusan Dewan Kehormatan PWI yang sifatnya final dan mengikat.

Sebagai akademisi lulusan fakultas hukum Universitas ternama di Makassar, seharusnya Zugito SH paham apa yang disebut sebagai putusan final dan mengikat. Bukan mempersoalkan lagi putusan itu, seolah olah tidak benar sehingga perlu disanggah dan harus diterima sebagai suatu kenyataan.

Kalaupun mau mempersoalkan putusan itu  nanti di Kongres PWI pada tahun 2023, disanggah untuk dibicarakan, apakah  putusan ini benar atau tidak.

Menjadi pertanyaan mengapa Zugito yang punya pengetahuan ilmu hukum mempersoalkan putusan yang sudah dijatuhkan oleh Dewan Kehormatan untuk disanggah lewat surat tebuka kepada pengurus harian PWI Pusat. Inilah yang disebut sebagai keanehan yang  mempermalukan dirinya sendiri sebagai ketua bidang organisasi yang juga adalah intelektul pengurus harian PWI Pusat.

Sebagai seorang wartawan yang digugu oleh wartawan wartawan mudah di tanah air, seharusnya  selaku Ketua bidang Organisasi, Zugito memperlihatkan dirinya sebagai  kesatria yang  paham dengan aturan PDPRT PWI. Ia tidak menyanggah putusan yang sudah dijatuhkan oleh Dewan Kehormatan PWI Pusat karena ia sudah dua kali diberi kesempatan untuk membela diri tapi tidak digunakan.

Dipelaksanaan suatu putusan  Pengadilan, apapun perkaranya, pidana atau perdata jika yang akan dijatuhi hukuman, tidak menggunakan haknya dua kali untuk membantah tuduhan atau gugatan, maka haknya untuk membela diri dinyatakan  gugur.  Yang bersangkutan harus legowo menerima putusan Pengadilan karena haknya untuk menyangkal tidak digunakan atau dipenuhi .

Dengan demikian sanggahan Zugito atas putusan Dewan Kehormatan PWI bagai pepatah yang mengatakan, ‘’ memercik air didulang, terkena muka sendiri’’. Itulah arti surat sanggahan Zugito yang dilakukan  seminggu lalu  dan sudah tersebar luas dengan cepatnya di media WA.

Mengapa penulis menyebut demikian surat sanggahan itu,  kita lihat poin demi poin isinya  sebagai berikut :

1 . Di poin ini Zugito menyebut ia menyanggah seluruh isi putusan Dewan Kehormatan yang menjatuhkan sangsi skorsing satu tahun tidak boleh menjadi anggota PWI.  Sebenarnya sanggahan ini tidak tepat dilakukan oleh seorang intelektual organisasi dihadapan pengurus harian PWI Pusat.  Sanggahan itu seharusnya dilakukan dihadapan Dewan Kehormatan yang menjatuhkan hukuman sebagai suatu bukti  ‘’membela diri’’ sebagaimana diatur dalam PDPRT PWI. Tapi apa yang  terjadi, dua kali saudara ini dipanggil untuk membela diri dihadapan pengurus Dewan Kehormatan PWI, tapi tidak hadir memenuhi  haknya.

Tidak jelas mengapa Zugito tidak mau menggunakan haknya yang istimewa itu sebagaimana dicantumkan dalam PDPRT PWI. Ia baru menyangkal ketika putusan skorsing  itu telah dilaksanakan oleh pengurus Dewan Kehormatan pada tanggal 3 Oktober 2022.

2.  Disebutkan, sebagai fakta bahwa kasus gedung PWI Sulsel sudah ditangani sejak tahun 2017, setahun sebelum jabatan ketua harian PWI Pusat Margiono habis untuk kedua kalinya.  Sejatinya kasus gedung PWI Sulsel sudah dibicarakan secara mendalam oleh tim asset PWI Pusat setelah terbongkar kasus penjualan gedung PWI Kalbar di tahun 2011 oleh mantan ketuanya kepada pihak PLN Kalbar. Waktu itu penulis selaku ketua Departemen Kepolisian PWI Pusat mendapat perintah dari almarhum Margiono selaku ketua harian PWI Pusat untuk mengusut tuntas kasus penjualan gedung PWI Kalbar yang dananya tidak masuk ke kas PWI Pusat tapi menggunakan nama oknum PWI Pusat sebagai mengetahui penjualan asset ini. Asset gedung PWI Sulsel tidak menjadi pembicaraan berlanjut karena ketua tim yang ditunjuk oleh almarhum Margiono, meninggal.

3. Yang dibicarakan Zugito dalam surat sanggahannya itu adalah soal putusan Pengadilan Negeri Makassar tentang kalah dan menang. Menurut Zugito Dewan Kehormatan harus paham arti kalah dan menang. Ia sendiri paham bahwa putusan itu menyatakan pihak PWI menang sebagai pemilik gedung yang disengketakan. Padahal kenyataannya yang dipakai oleh Pemda Sulsel menutup dan mempolice line gedung ini adalah surat keputusan Pengadilan Negeri Makassar yang menyatakan Pemprov. Sulsel sebagai pemilik sah gedung PWI Sulsel.

Dari uraian ini dapat diketahui siapa sebenarnya yang menang dan kalah dalam kasus gugatan kepemilikan gedung PWI Sulsel . Kalau PWI Sulsel merasa menang mengapa Pemprov Sulsel menyatakan dalam suratnya menutup dan mempolice line gedung ini berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri Makassar. Apakah sebodoh itu pihak Gubernur Sulsel menyatakan gedung PWI Sulsel miliknya berdasarkan Keputusan Pengadilan Negeri Makassar yang dimenangkan oleh PWI Sulsel.

Logika berpikir kita yang buta hukum pasti akan mengatakan yang menang itu sebagai pemilik gedung berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri Makassar adalah Pemprov Sulsel yang kalah itu adalah pihak PWI Sulsel. Lalu mengapa Zugito selalu mendegung-degungkan bahwa gedung PWI Sulsel yang terletak di jalan AP Pettarani adalah milik PWI berdasarkan putusan Pengadilan Makassar. Yang gagal paham hukum siapa sebenarnya, apakah Dewan Kehormatan PWI atau yang membuat sanggahan .

Inilah salah satu bukti nyata bahwa sanggahan Zugito ini membuat tampran pada dirinya sendiri sebagai seorang sarjana hukum dan intelektual pengurus harian PWI Pusat.

Pada poin selanjutnya, penulis disebutkan bersama empat wartawan PWI Sulsel telah melakukan gugatan kepada pengurus PWI Sulsel dan PWI Pusat. Perbuatan ini menurut Zugito dapat dianggap melanggar aturan PDPRT PWI karena menjatuhkan martabat wartawan ,merendahkan kewibawaan organisasi  dengan membawa persoalan ke pihak luar.

Dari penjelasan Zugito diatas dan penulis  sebagai orang  yang bertanggung jawab melaksanakan gugatan di Pengadilan Negeri Makassar, dapat  menyimpulkan betapa kerdilnya pengetahuan hukum Zugito. Ia hanya mau dihormati orang lain dengan cara tidak sesuai hukum. Tapi ketika perbuatannya dibawah ke ranah hukum, ia menyebut pengaduan adalah orang yang merendahkan martabat dan kewibawan wartawan. ‘’ Enak di lu, susah di kite’’ kata orang Jakarta tentang perilaku Zugito yang tidak mau dibawa persoalannya ke ranah umum.

Tapi jetika persoalan hukumnya dia bawa ke Pengadilan dengan memenjarakan wartawan anggota PWI Sulsel Kadir Sijaya di Lembaga Pemasyarakatan Makassar selama lima bulan, tanpa dasar dan bukti yang sah,  ia tidak menyebut dirinya sebagai merendahkan martabat dan wibawa wartawan.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa jika kepentingan Zugito di utak utik dan persoalannya dibawa ke ranah hukum  ia tidak menghendaki dirinya disebut sebagai merendahkan wibawa dan menjatuhkan nama baik wartawan. Tapi ketika  dirinya diadukan ke penyidik Polri, karena perbuatannya yang tidak benar  ia menyebut dirinya sebagai orang direndahkan wibawanya dan menjatuhkan nama wartawan.  Dengan demikian betul kate orang Jakarta ‘’Enak di lu, sudah dikita’’.

Beruntung Kadir Sijaya tidak menuntut balik terhadap Zugito yang telah memencarakan dirinya selama lima bulan di Lembaga Pemasyarakatan Makassar dengan laporan tidak benar sehingga memperoleh hukuman bebas murni dari  Pengadilan Negeri Makassar. Kadir Sijaya dengan rendah hati menyebut atas perbuatan Zugito, ‘’ Biarlah Tuhan yang membalaskan kesalahannya yang membuat laporan tidak benar di Poltabes Makassar sehingga ia ditahan selama lima bulan tanpa dasar bukti kesalahan.

Tapi untuk pelaporan pencemaran nama baiknya di Polres Makassar dengan terlapor Andi Tonra Mahie yang prosesnya masih dalam taraf penyelidikan, akan dibuktikan secara ilmiah apakah terbukti sebagai perbuatan pencemaran nama baik atau tidak. Jika laporan itu berbukti,  terlapor  akan menghadapinya dengan lapang dada. Tapi jika perkara ini dihentikan penyidikannya oleh penyidik Polres Makassar, maka terlapor Andi Tonra Mahie  akan menuntut balik Zugito sebagai perbuatan membuat laporan palsu dihadapan petugas negara sebagaimana diatur dalam pasal 317 dan 318 KUHP yang ancaman hukumannya empat tahun.

Untuk itu mari kita lihat kedepan siapa yang terbukti bersalah membuat pencemaran nama baik atau membuat laporan palsu dihadapan petugas negara. Kita tunggu tanggal mainnya karena terlapor Andi Tonra Mahie sudah bertekad untuk membalaskan pengalaman Kadir Sijaya dihukum lima bulan penjara.

Kalau ini betul terjadi maka malapetaka dari organisasi kita tercinta akan terjadi dan tingal memetik buahnya. Mari kita sayangi organisasi wartawan tertua di Indonesia dengan menghimbau pengurus harian PWI Pusat untuk tidak menerima sanggahan Zugito tapi melaksanakan putusan Dewan Kehormatan PWI Pusat dengan lampang dada karena sifatnya yang final dan mengikat. Semoga !

Penulis wartawan dan Praktisi Hukum di Jakarta.

 

 

No More Posts Available.

No more pages to load.