KASUS DUREN TIGA, KAPOLRI HARUS IKUT BERTANGGUNG JAWAB
Oleh UPA LABUHARI SH MH
Jakarta-makassarpena.com. Andai saja Kapolri Jenderal Pol Drs Listyo Sigit Prabowo dapat bertindak cepat sebagai pimpinan tertinggi Polisi Presisi dalam kasus pembunuhan di Duren Tiga, dapat dipastikan kasus ini tidak membawa lebih banyak anggota Polri melanggar Kode Etik Profesi Kepolisian.
Sekarang ini saja sudah tercatat 31 anggota Polisi yang ditahan di Mako Brimob Kelapa Dua Bogor untuk diadili karena melanggar Kode Etik Profesi. Diperkirakan jumlah ini akan bertambah lebih banyak lagi dan bisa mencapai 40 orang berpangkat Bintara sampai Perwira tinggi karena masih berlangsung penelusuran oknum Polri yang diketahui melanggar Kode Etik ketika mengusut peristiwa pembunuhan ini.
Dan seandainya juga di hari pertama kasus ini diketahui oleh Kapolri dan ia langsung bertindak memberhentikan Irjen Pol Fredy Sambo sebagai Kadiv Propam Mabes Polri karena di rumahnya terjadi pembunuhan, berita kejadian ini tidak akan menjadi Trending topik setiap hari di media massa baik Surat Kabar, Majalah, dan Televisi mulai 11 Juli lalu. Akibat pemberitaan yang bersifat ‘’Trending topik’’ itu, rusak citra Polri sebagai Pengajom dan Pelindung masyarakat .
Apa sebab Kapolri bertindak lamban dalam menangani perkara ini, hanya Tuhan dan Kapolri sendiri yang mengetahuinya. Tapi perkiraan penulis hal ini disebabkan oleh karena Kapolri telalu banyak berhitung, untung ruginya jika kasus ini disampaikan ke tengah masyarakat dalam waktu singkat. Untuk itulah perkara pembunuhan ini baru ditangani serius setelah Presiden Jokowi turun tangan dengan mengeluarkan perintah kepada pimpinan Polri, agar penyidik bertindak cepat, transparan apa adanya dalam memberi penjelasan kepada masyarakat.
Bagai pepatah yang mengatakan, ‘’Nasi sudah menjadi bubur’’, Kapolri terlambat bereaksi pada peristiwa pembunuhan ini sehingga masyarakat pun berkomentar miring akan peristiwa yang membawa korban meninggal bernama Bharada Josua. Ada masyarakat setelah peristiwa ini berlangsung menyebut Polri ‘’pembohong’’. Dan ada pula yang menyebut , ‘’Polisi suka merekayasa peristiwa yang terjadi’’, dari yang tidak ada menjadi ada dan dari yang ada menjadi tidak ada ‘’.
Image masyarakat yang miring dapat dimaklumi karena adanya kesimpang siuran pemberitaan yang mereka terima dari media massa. Di hari ketiga setelah peristiwa ini berlangsung, tepatnya pada tanggal 11 Juli yang juga merupakan hari pertama di umumkannya ke publik terjadinya pembunuhan ini, Kapolres Jakarta Selatan bersama Karo Penmas Kadiv Humas Mabes Polri mengatakan telah terjadi tembak menembak antara sesama anggota Polri di rumah dinas Kadiv Propam Irjen Pol Ferdy Sambo di Kawasan Duren Tiga Jakarta Selatan. Seorang korban meninggal yaitu Bharada Josua. Motifnya karena korban melakukan pelecehan seks terhadap Ny Sambo .
Berita yang merupakan scenario Ferry Sambo untuk mendapatkan dukungan publik ternyata berhasil dilakukan. Tetapi keesokan harinya berita ini terbantahkan bukan tembak menembak setelah keluarga korban melihat langsung mayat korban yang diantara oleh petugas Propam Mabes Polri ke Jambi. Keluarga korban menduga kematian anaknya adalah perbuatan pembunuhan yang disertai dengan tindakan kekerasan sebelumnya.
Berita bantahan ini bergerak dengan cepatnya sehingga didapat kesimpulan dugaan keluarga korban adalah benar adanya. Masyarakatpun berobah simpatik kepada keluarga Ferdy Sambo dan malah menuduh mereka sebagai pelaku pembunuhan. Tuduhan yang tidak enakpun disampaikan kepada jajaran Polri yang mengusut peristiwa ini dan meminta Presiden Jokowi selaku pimpinan tertinggi Polri untuk mengusut peristiwa ini dengan benar dan menangkap pelakunya untuk dibawa ke pengadilan.
Lambatnya Kapolri bertindak menangani perkara ini membuat jenderal berbintang empat lulusan Akpol 1991 itu, diinginkan oleh masyarakat harus ikut bertanggung jawab. Kapolri tidak boleh bebas dari tanggung jawab akan jalannya penyelidikan peristiwa pembunuhan ini yang lamban dan tidak transparan . Bahkan Kapolri dianggap tidak professional memimpin Polri sehingga terlambat mengambil suatu tindakan yang tepat dalam menangani penyelidikan peristiwa pembunuhan ini. Paling tidak Kapolri berbintang empat ini disebut dapat dikenakan juga melanggar Kode Etik Profesi Kepolisian Negara yang diatur dalam pasal 13 ayat 1 b . Dalam pasal ini disebutkan ‘’ setiap anggota Polri dilarang mengambil keputusan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang undang karena pengaruh keluarga, sesame anggota Polri atau pihak ketiga”.
Keterlambatan Kapolri mengambil keputusan dalam mengusut kasus pembunuhan ini dapat dikategorikan sebagai melanggar pasal 13 ayat 1 b, karena ia selaku pimpinan Polri tidak mengambil suatu keputusan yang cepat terhadap Irjen Sambo selaku Kadiv Propam Mabes Polri setelah diketahui di rumah dinasnya terjadi tembak menembak.
Setidaknya dihari pertama peristiwa pembunuhan ini terjadi pada hari Jumat, 8 Juni , Irjen Pol Drs Ferdy Sambo sudah harus dinonaktifan dari jabatannya sebagai Kadiv Propam. Dengan demikian, Kapolri tidak membiarkan Sambo menggunakan kekuasaannya untuk mempengaruhi penyidik melaksanakan tugasnya mengungkap kasus tembak menembak di rumah dinasnya di Duren Tiga Jakarta Selatan. .
Kenyataannya hal itu tidak dilaksanakan oleh Kapolri sebagai atasan langsung Ferdy Sambo. Malah sebaliknya, Kapolri masih memberi kebebasan kepada Irjen Sambo beberapa hari kemudian untuk membuat cerita yang tidak masuk akal tentang peristiwa yang terjadi di rumah dinasnya kepada beberapa anggota reserse di Jakarta Selatan, Polda Metro Jaya, bahkan ke Bareskrim Polri.
Dengan memberi keleluasan Sambo bergerak setelah terjadi pembunuhan di rumah dinasnya, membawa korban 31 orang Polisi yang diperintah oleh Sambo untuk memuluskan kebohongannya. Akibatnya mereka harus mendekam di kamar tahanan Brimob Kelapa Dua karena dianggap melanggar Kode Etik Profesi Kepolisian .
Dari pengalaman penulis meliput kegiatan Kepolisian, ada satu pengalaman yang sulit terlupakan yang seharusnya juga diambil contoh oleh Kapolri Listyo Sigit dalam memimpin Polri yang tengah dalam sorotan masyarakat karena ketidak profesionalan mereka bekerja. Pengalaman itu berupa tindakan cepat yang dilakukan oleh Kapolri Jenderal Sutanto ketika menindak Kabareskrimnya yang dituduh menerima uang suap dari pelaku pembobol keuangan Bank BNI 46 pada tahun 2006.
Dalam suatu pertemuan antara atasan dengan bawahan di Mabes Polri akhir Maret 2006, Kapolri, Jenderal Pol Drs Sutanto mengeluarkan suatu perintah pendek kepada Kepala Devisi Propam yang waktu itu dijabat oleh Irjen ( sekarang pensiunan Komisaris Jenderal ) Pol Drs Jusuf Manggabarani. Perintah itu pendek, tapi maknanya luar biasa,‘’ periksa kepala Reserse Mabes Polri yang menerima suap dari pembobol keuangan BNI 1946’’.
Perintah ini dilaksanakan oleh Jusuf Manggabarani tanpa gembar gembor di tengah masyarakat. Dalam pemeriksaan selama lebih dari sebulan itu, tim penyidik Propam tidak berhasil menemukan kesalahan Kabareskrim Polri yang waktu itu di jabat Komisaris Jenderal Pol Sukarta,( bukan nama sebenarnya). Tapi hal ini tidak membuat Kapolri yang ahli reserse dan terkenal dengan karyanya ‘’ membrantas perjudian di tanah air’’, menyerah untuk membuktikan keterlibatan Sukarta menerima suap miliaran rupiah.
Dengan penuh kebijakan, Kapolri yang pernah menjabat sebagai Kapolda Jawa Timur dan Kapolda Sumut, kemudian secara diam diam mencari seorang perwira Polisi di Bareskrim yang punya keahlian untuk memeriksa komandannya. Dalam waktu singkat penyidik yang dicari itu ditemukan. Ia adalah seorang penyidik senior di Bareskrim berpangkat Komisaris Besar Polisi Bernama Benny Mamoto, sekarang pensiunan Inspektur Jenderal, dan menjabat sebagai ketua pelaksana harian Kompolnas.
Tidak lebih seminggu setelah Benny menerima perintah dari Kapolri untuk memeriksa atasannya itu, ia dapat membuktikan bahwa Kabareskrim Sukarta telah menerima upeti sebuah mobil mewah dari pembobol keuangan Bank BNI 46. Walaupun Kabareskrim Drs Sukarta memohon agar dirinya tidak dijadikan tersangka penerima suap, tapi Benny Mamoto tetap menjalankan perintah Kapolri bahwa atasannya diduga terbukti menerima suap dari penjahat.
Tidak adanya rekayasa atas hasil penyidikan itu membuat semua pihak menerima kenyataan bahwa Kabareskrim Polri telah menerima suap dari pembobol keuangan Bank BNI, yang pada akhirnya hasil pemeriksaan ini, dapat disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan menjatuhkan hukuman satu setengah tahun penjara terhadap Kabareskrim Sukarta.
Contoh penangan perkara yang dilakukan oleh Kapolri di tahun 2006 itu, membuktikan bahwa tindakan cepat dan tepat akan suatu peristiwa kejahatan yang terjadi, akan membawa hasil yang luar biasa bagi institusi Polri. Tapi bila sebaliknya terjadi seperti penanganan kasus pembunuhan di rumah dinas Kadiv Propam maka akan membawa konsekwensi korban yang banyak serta citra institusi menjadi rusak ditengah masyarakat yang haus akan informasi.
Menjadi pertanyaan, apa ia Kapolri Jenderal Pol Drs Listyo Sigit Prabowo harus dijatuhi juga hukuman sebagaimana yang banyak diutarakan masyarakat bahwa yang bersangkutan harus di non aktifkan juga dari jabatannya sebagai Kapolri sebagai suatu tindakan yang setimpal atas tindakannya yang tidak cepat menangani peristiwa pembunuhan di Duren Tiga. Kalau Presiden Jokowi menyetujuinya maka tujuh orang perwira tinggi Polri yang berpangkat Letnan Jenderal harus bersiap siap untuk menjadi Kapolri menggantikan Listyo Sigit Prabowo.
Tapi jika permintaan masyarakat ini tidak disetujui Presiden Jokowi, maka peristiwa pembunuhan ini menjadi motifasi Kapolri untuk berpacu melawan oknum Polisi yang suka berbuat aneh di tengah masyarakat khususnya kepada korban tindak kejahatan. Turutilah cara sederhana mantan Kapolri Jenderal Susanto dalam memerangi oknum Polisi nakal berpangkat perwira tinggi. Semoga berhasil .
Penulis adalah wartawan dan praktisi hukum di Jakarta
Mantan Ketua Departemen Kepolisian PWI Pusat.