Dari Tradisi ke Kesalehan Sosial: Kisahku Menemukan Islam Rahmatan Lil ‘Alamin Bersama NU
Kisah perjalanan hidup sahabat Nurhidayah, S.E., Bendahara Umum PC Fatayat NU Kota Makassar Masa khidmat 2024-2029, menemukan cahaya keislaman yang telah menjadi tradisi di kampungnya saat berkhidmat di beberapa lembaga otonom Nahdlatul Ulama, PMII, LAZISNU, dan Fatayat NU.
Sahabat Yaya, begitu dia disapa, berkisah tentang keislaman yang diamalkannya berdasar kebiasaan keislaman di kampungnya. Kisah perjalanan keislaman yang menarik untuk disimak. Berikut kisahnya:
Aku lahir di sebuah desa kecil di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Desa tempatku dibesarkan adalah desa yang memegang teguh nilai-nilai keislaman. Sejak kecil, aku diajarkan untuk beribadah, mengikuti tradisi keagamaan, dan menghormati para ulama yang dihormati oleh masyarakat. Namun, pemahamanku tentang Islam hanya sebatas apa yang aku dapatkan dari sekolah dasar negeri dan madrasah Ibtidaiyah Awaliyah yang aku hadiri setiap sore.
Di desaku, Islam adalah bagian dari kehidupan. Orang-orang terbiasa dengan amalan seperti yasinan, tahlilan, maulidan, dan tradisi ziarah kubur. Semua itu dilakukan tanpa banyak bertanya, seolah-olah sudah menjadi bagian dari budaya yang diwariskan turun-temurun. Aku hanya menjalani semua itu sebagai kebiasaan tanpa memahami lebih dalam makna dan landasannya dalam Islam.
Pemahamanku tentang Islam mulai berkembang ketika aku merantau ke Makassar untuk bekerja dan melanjutkan kuliah. Di kota ini, aku mengenal berbagai organisasi mahasiswa, salah satunya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Awalnya, aku hanya ikut karena ingin mencari komunitas baru, namun lama-kelamaan aku mulai memahami bahwa PMII adalah bagian dari Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia yang berpegang pada ajaran Ahlusunnah wal Jamaah.
Dari PMII, aku mulai mempelajari lebih dalam tentang Islam yang moderat, toleran, dan berbasis tradisi keilmuan. Aku belajar bahwa amalan-amalan yang selama ini dilakukan oleh masyarakat desaku bukan sekadar tradisi, tetapi memiliki dasar yang kuat dalam Islam. Tahlilan, maulidan, dan ziarah kubur yang sering dilakukan orang tuaku ternyata adalah bagian dari ajaran Islam yang dianut oleh NU.
Aku pun mulai memahami betapa Islam versi NU ini tidak hanya menekankan aspek ibadah, tetapi juga menjunjung tinggi kebangsaan dan keberagaman. NU mengajarkan Islam yang santun dan merangkul, bukan Islam yang eksklusif dan kaku. Aku semakin bangga dengan akar budayaku, karena ternyata sejak kecil aku telah hidup dalam nilai-nilai NU meskipun tidak pernah menyadarinya.
Selain aktif di PMII, aku juga mulai berkiprah di Lembaga Amil Zakat Nahdlatul Ulama (LAZISNU). Melalui LAZISNU, aku melihat bagaimana NU tidak hanya berfokus pada kajian keislaman tetapi juga memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Aku belajar tentang pengelolaan zakat, infaq, dan sedekah yang digunakan untuk membantu kaum dhuafa dan meningkatkan kesejahteraan umat.
Tak hanya itu, aku juga bergabung dengan salah satu Badan Otonom NU, yaitu Fatayat NU. Di sini, aku melihat bagaimana perempuan memiliki peran yang kuat dalam pergerakan Islam yang berlandaskan Ahlusunnah wal Jamaah. Aku terinspirasi oleh para perempuan tangguh yang aktif dalam pemberdayaan masyarakat dan advokasi hak-hak perempuan serta anak.
Melalui keterlibatanku di berbagai organisasi NU, aku semakin memahami bahwa Islam tidak hanya berbicara tentang ibadah ritual, tetapi juga harus hadir dalam aspek sosial dan kesejahteraan umat. NU mengajarkan keseimbangan antara ilmu agama dan aksi nyata di masyarakat. Dari sinilah aku semakin yakin bahwa NU adalah jalan yang tepat bagiku dalam berislam dan berkontribusi bagi negeri.
Aku juga semakin memahami pentingnya persatuan dalam keberagaman. NU tidak hanya merangkul sesama Muslim, tetapi juga menjalin hubungan baik dengan umat agama lain. Prinsip Islam rahmatan lil ‘alamin benar-benar terasa dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh NU dan badan otonomnya.Kini, setelah memahami lebih dalam tentang NU dan Ahlusunnah wal Jamaah, aku semakin mantap dalam menjalani kehidupanku sebagai seorang Muslim yang tetap menjaga tradisi namun tidak meninggalkan nilai-nilai keilmuan. Aku ingin terus berkontribusi dalam menyebarkan Islam yang damai dan rahmatan lil ‘alamin, sebagaimana yang telah diajarkan oleh para ulama NU. Perjalananku bersama Nahdlatul Ulama baru saja dimulai, dan aku yakin akan terus belajar dan berkembang bersama jamaah yang penuh kasih dan kebersamaan.
Kisah perjalanan keislaman sahabat Yaya sungguh menarik untuk direnungkan. Apakah keislaman yang kita jalani juga bersumber dari ajaran Islam yang sesungguhnya? Berikut ini beberapa dasar amalan keislaman yang telah membudaya di kampungnya dan amalan yang sejalan dengan tradisi di Nahdlatul Ulama (NU). NU sebagai organisasi Islam berbasis Ahlusunnah wal Jamaah mengintegrasikan amalan-amalan keagamaan yang berakar pada tradisi (al-‘urf) dengan landasan syariat Islam. Konsep-konsep amalan NU yang telah membudaya di masyarakat, disertai dalil yang mendasarinya:
1. Tahlilan, Yasinan, dan Maulidan
Amalan ini merupakan tradisi keagamaan yang dijalankan secara turun-temurun, seperti membaca tahlil (kalimat tauhid), Surah Yasin, dan peringatan Maulid Nabi. NU memandangnya sebagai bentuk dzikir kolektif dan ekspresi kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW.
– Dalil Tahlil:
QS. Al-Ahzab (33): 41:
“Wahai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada Allah dengan sebanyak-banyaknya.”
Hadis Nabi: “Barangsiapa mengucapkan ‘Lā ilāha illallāh’ (tahlil) dengan ikhlas, maka ia masuk surga.” (HR. Ahmad).
– Dalil Yasinan:
Surah Yasin disebut sebagai “Qalbul Qur’an” (jantung Al-Qur’an) dalam hadis (HR. Tirmidzi). Membacanya termasuk ibadah tilawah yang dianjurkan.
– Dalil Maulidan:
QS. Al-Anbiya (21): 107: “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.”
Perayaan maulid merupakan bentuk syukur atas kelahiran Nabi, sesuai kaidah “al-muhafazah ‘ala al-qadim as-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah” (menjaga tradisi baik dan mengambil inovasi yang lebih baik).
2. Ziarah Kubur
NU membolehkan ziarah kubur sebagai sarana mengingat akhirat (tazkiyatun nafs) dan mendoakan keluarga yang telah wafat.
– Dalil:
Hadis Nabi: “Aku pernah melarang kalian berziarah kubur, sekarang berziarahlah, karena ziarah kubur mengingatkan kalian pada akhirat.” (HR. Muslim).
3. Tradisi Tawassul dan Istighotsah
Amalan memohon pertolongan melalui perantara (tawassul) kepada orang saleh atau Nabi, serta istighotsah (doa bersama), dianggap sebagai bagian dari tauhid asma’ wa sifat, bukan syirik.
– Dalil:
QS. Al-Maidah (5): 35: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya.”
Praktik tawassul para sahabat di masa kekeringan dengan doa Nabi (HR. Bukhari) menjadi rujukan.
4. Prinsip Kebangsaan dan Keragaman
NU menegaskan bahwa menjaga persatuan (ukhuwah wathaniyah) dan toleransi (tasamuh) adalah bagian dari ajaran Islam.
– Dalil:
QS. Al-Hujurat (49): 13: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.”
5. Kepedulian Sosial (LAZISNU)
NU mengaktualisasikan zakat, infaq, dan sedekah sebagai bentuk keadilan sosial.
– Dalil:
QS. At-Taubah (9): 60: “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, miskin, amil zakat… sebagai kewajiban dari Allah.”
Penegasan
Amalan-amalan NU yang telah membudaya tidak sekadar tradisi (taqlid), tetapi memiliki pijakan dalam manhaj Ahlusunnah wal Jamaah yang mengacu pada:
1. Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber utama.
2. Ijma’ (konsensus ulama) dan Qiyas (analogi hukum).
3. ‘Urf (tradisi yang tidak bertentangan dengan syariat).
NU mengajarkan bahwa tradisi yang selaras dengan nilai Islam harus dilestarikan, sebagaimana kaidah fikih:
“Al-‘ādah muhakkamah” (tradisi yang baik dapat menjadi pertimbangan hukum). Dengan demikian, NU tidak hanya menjaga warisan spiritual, tetapi juga membumikan Islam yang moderat (tawassuth), toleran (tasamuh), dan berkeadaban (rahmatan lil ‘ālamīn).