Permohonan Kasasi Pengacara Upa Labuhari SH MH Akan Disidangkan
” Kriminalisasi Pengacara Jangan Lagi Terjadi”
Bengkulu-makassarpena.com. Ketua Mahkamah Agung dalam surat penetapannya telah menujuk Hakim Agung Dr. Prim Haryadi, SH, MH untuk memimpin sidang permohonan Kasasi Upa Labuhari, SH, MH seorang pengacara ibukota yang telah dijatuhi hukuman 4 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Bengkulu karena dianggap terbukti telah menghalangi dan merintangi pihak Kejaksaan Negeri Kaur mengusut kasus dugaan korupsi di daerah ini.
Dalam surat keputusan itu juga ditunjuk Hakim Agung Dr. Agustinus Purnomohadi, SH, MH dan Hakim Agung Dr Yanto SH MH untuk menjadi hakim pendamping dalam persidangan perkara yang teregistrasi dengan nomor 66 44 K/Pid.sus/2024.
Dalam permohonan Kasasi yang diajukan oleh terdakwa Upa Labuhari, SH, MH dengan didampingi oleh 4 orang pengacara dari Pengurus Kongres Advokat Indonesia Cabang Bengkulu maupun Cabang Jakarta disebutkan, Judex Facti telah melampaui kewenangannya dimana seharusnya berkas Jaksa Penuntut Umum tidak dapat diterima sebagaimana diatur dalam pasal 15 kitab undang-undang hukum acara pidana yang menyebutkan penuntut umum menuntut perkara tindak pidana yang terjadi di dalam daerah hukumnya.
Sementara perkara yang diajukan kepada pemohon Kasasi tidak pernah terjadi di Kaur Bengkulu karena surat pengaduan yang dikirim ke Presiden Jokowi dan Jaksa Agung yang dianggap oleh Negeri Kaur sebagai penghalang perintah penyidikan kasus dugaan korupsi, semuanya terjadi di Jakarta bukan di Bengkulu.
Jadi bagaimana bisa jaksa menuntut suatu perkara pidana bukan di wilayah hukumnya.
Selain itu disebutkan bahwa Judex Facti putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Bengkulu kelas 1A nomor 52/Pid.sus-TPK/2023/Pn Bengkulu ter tanggal 22 April 2024 yang pertimbangan hukumnya juga diambil alih oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Bengkulu dalam memutus perkara ini di tingkat banding, kecuali mengenai kualifikasi tindak pidana dibuat berdasarkan kesimpulan dan pertimbangan hukum yang salah dan keliru.
Hal ini dapat ditunjukkan dimana terdapat fakta persidangan yang tidak pernah ada dan terdapat fakta yang menguntungkan pemohon Kasasi justru dihilangkan atau tidak tercantum dalam putusan, sehingga sangat merugikan pemohon Kasasi dalam mencari kebenaran dan keadilan.
Dengan demikian Majelis Hakim mulai dari pengadilan tingkat pertama sampai kepada Pengadilan Tinggi Bengkulu telah salah menerapkan hukum ataupun diterapkan tidak sebagaimana mestinya.
Salah satu contoh fakta persidangan yang tidak pernah ada akan tetapi ada dalam putusan Judex Facti disebutkan bahwa pemohon Kasasi hadir pada saat pertemuan di rumah makan Kalasan Kota Bengkulu untuk berbicara kepada para kepala Puskesmas dan Kadis Kesehatan Kaur dalam rangka melaksanakan penghentian pengusutan perkara bantuan operasi kesehatan Kabupaten Kaur.
Terhadap hal ini saksi mahkota atas nama Ranty Paulina Rahmat Nurul Sapril dan Ardiansyah Harahap telah membuat pernyataan yang menyatakan bahwa pemohon Kasasi tidak pernah hadir dalam pertemuan di rumah makan Kalasan serta tidak pernah menyampaikan untuk menghentikan penyidikan perkara bantuan operasi kesehatan Kaur. Pernyataan secara tertulis di atas materai ikut dilampirkan dalam memori kasasi ini.
Contoh fakta lain yang terungkap di muka persidangan akan tetapi tidak tercantum dalam putusan Judex Factie disebutkan dari keterangan saksi Ranti Paulina saat diminta keterangannya di muka Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada tanggal 5 Maret hari Selasa yang mengatakan bahwa, terdakwa atau pemohon Kasasi pernah mengatakan bahwa perkara bantuan operasi kesehatan ini harus dibawa ke pengadilan biar jelas semua bukan dihentikan. Padahal fakta ini sangat menguntungkan pemohon Kasasi akan tetapi tidak dicantumkan dalam putusan Judex Factie.
Terhadap hal ini saksi mahkota atas nama Ranty Paulina dalam membuat pernyataan yang menyatakan bahwa pemohon Kasasi pernah mengatakan bahwa perkara bantuan operasi kesehatan ini harus dibawa ke pengadilan biar jelas semuanya bukan dihentikan. Pernyataan saksi mahkota terlampir juga dalam memori kasasi ini.
Bahwa dalam fakta persidangan mengenai pemohon kasasi tidak pernah hadir di rumah makan Kalasan dan hotel Grage selalu disebutkan oleh saksi 16 Kepala Puskesmas dan Kepala Dinas Kesehatan serta Sekretaris Dinas Kesehatan dalam sepanjang persidangan. Akan tetapi dalam Judex Facti, pemohon Kasasi disebutkan selalu hadir di kedua tempat yang disebutkan itu sehingga diambil sebagai fakta persidangan untuk menghukum pemohon Kasasi sebagai terbukti dan sah meyakinkan ingin menghentikan penyidikan kasus korupsi bantuan operasi kesehatan Kabupaten Kaur.
Padahal jika Pengadilan Tinggi Bengkulu teliti dan cermat melihat kesimpulan Pengadilan Negeri Bengkulu pada angka 31 dan angka 32 halaman 138 sampai 139 tidak ada satupun yang menyebutkan nama pemohon Kasasi ikut dalam pertemuan tersebut.
Jadi dapat disimpulkan fakta yang muncul diputusan Pengadilan Negeri Bengkulu tentang kehadiran pemohon Kasasi di rumah makan Kalasan dan hotel Grage merupakan suatu rekayasa Majelis Hakim Pengadilan Bengkulu untuk menghukum pemohon kasasi.
Perbuatan Majelis Hakim yang jelas-jelas merekayasa fakta persidangan tersebut oleh pemohon Kasasi sudah dilaporkan ke Komisi Yudisial dengan nomor laporan 293/5/2024/S. Proses pelaporan ini tengah diusut oleh Komisi Yudisial di Jakarta.
Salah penerapan hukum.
Disebutkan juga bahwa Judex Facti telah salah menerapkan hukum tidak sebagai mestinya terkait pasal 21 Undang-Undang Republik Indonesia nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2021 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang merintangi proses penyidikan tindak pidana korupsi.
Mantan Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI) Erman Umar SH yang sekarang Ketua Dewan Penasehat KAI, menanggapi akan disidangkannya perkara Kasasi atas nama Upa Labuhari, SH, MH oleh Mahkamah Agung, mengemukakan bahwa, sebagai seorang pengacara dirinya merasa senang proses mengadili permohonan Kasasi akan dilaksanakan dalam waktu dekat ini dengan membawa hasil yang tentunya berlandaskan hukum yang berlaku. Bukan menghukum pengacara yang secara profesional dan beretika sesuai dengan kode etik pengacara melaksanakan tugasnya untuk membela kliennya. melaksanakan tugasnya dengan benar dan terukur harus dijatuhi hukuman penjara.
“Menjatuhkan hukuman pidana terhadap seorang pengacara sangatlah tidak etis karena pengacara mendapat perlindungan hukum yang diatur di dalam Undang-Undang Advokat yang menyebutkan pengacara tidak boleh dituntut pidana dan perdata di pengadilan karena menangani suatu perkara terhadap kliennya,” terangnya.
Untuk itu katanya, sebagai mantan ketua salah satu organisasi pengacara di Indonesia ia sangat prihatin dengan adanya perilaku oknum Jaksa di Kaur Bengkulu yang sama-sama adalah penegak hukum tapi tidak mengerti akan hukum yang dilaksanakannya. Sepertinya pihak Kejaksaan Negeri Kaur telah mengkriminalisasi se orang pengacara yang telah melakukan tugasnya dengan profesional. Hanya karena dianggap melapor kepada Presiden dan Jaksa Agung atas perilaku mereka yang melanggar kode etik kejaksaan dan diduga telah tiga kali menerima suap dari oknum pelaku korupsi pihak Kejaksaan Negeri Kaur telah mengkriminalisasi pengacara .
“Semoga Majelis Kakim Kasasi Mahkamah Agung yang mengadili perkara ini dapat melihat kenyataan fakta yang ada dalam persidangan awal. Bukan hasil rekayasa Majelis Hakim tingkat pertama yang menjadi pertimbangan untuk memutus perkara ini sebagai suatu tindakan kriminalisasi pengacara,” sambungnya.
Ahli hukum pidana korupsi yang juga adalah seorang pengacara di Ibukota Prof. Dr. Suhandi cahaya, SH, MH dalam tanggapannya mengenai perkara ini mengatakan dari sejak awal di persidangan PN Bengkulu ia telah mengatakan pemohon Kasasi tidak boleh dihukum pidana sesuai dengan Undang-Undang pengacara.
Menurut ahli hukum dari Universitas Jayabaya Jakarta perbuatan Jaksa Negeri Kaur membawa pemohon Kasasi untuk diadili adalah suatu tindakan yang tidak benar. Hanya karena pemohon Kasasi membuat laporan pengaduan ke Presidenan dan Jaksa Agung.
“Kalau perbuatan pengaduan ini menjadi perbuatan pidana, maka tidak akan ada lagi masyarakat yang mau melapor tentang perilaku jaksa yang korup dan yang melanggar kode etik kejaksaan,” tegasnya.
Jadi beruntunglah jaksa masih ada masyarakat khususnya pengacara mau melaporkan tentang perilaku jaksa nakal di tanah air sebagaimana selalu dikumandangkan oleh Jaksa Agung, agar masyarakat berani melapor tentang adanya Jaksa nakal. Tapi ketika dilaksanakan oleh masyarakat atas himbauan tersebut, ternyata Jaksa Agung lepas tangan dari himbauannya.
Kejaksaan Negeri Kaur sepertinya kebakaran jenggot atas laporan pemohon Kasasi kepada Presiden dan Jaksa Agung.
Dimulai dari fakta persidangan sampai pada rekayasa Majelis Hakim untuk menghukum pemohon Kasasi yang adalah seorang pengacara profesional yang tidak memungut honorarium di dalam membela kliennya.
Dari segi kacamata hukum menurut prof. Dr. Suhandi, tidak sepantasnya Jaksa membuat laporan pengaduan atas perkara ini lalu Jaksa juga yang menyelidiki kasus ini dan kemudian membuat tuduhan serta tuntutan. Jadi perkara ini terlihat jelas mulai dari pelaporan sampai kepada penuntutan semuanya dibuat oleh Jaksa sementara dalam kitab undang-undang hukum acara pidana menyebutkan ada pembagian tugas pelaporan ditangani oleh pihak kepolisian lalu hasil pihak kepolisian diserahkan kepada pihak kejaksaan untuk dilakukan dakwaan dan penuntutan..(*)