PROGRAM PRESISI KAPOLRI GAGAL PENUHI HARAPAN MASYARAKAT

oleh
oleh
  1. PROGRAM PRESISI KAPOLRI GAGAL PENUHI HARAPAN MASYARAKAT

 

OLEH:  UPA LABUHARI SH MH

 

Jakarta-makassarpena.com. ‘’Bagaimana anda melihat Polri sekarang ini setelah ada di dalam konsep PRESISI ?’’ tanya penulis kepada seorang supir taksi bandara Sepinggan Balikpapan, Kaltim dalam   suatu perjalanan sejauh 200 kilometer dari Kota Balikpapan ke Bontang,  Selasa 27/9  lalu.

‘’ Saya harus jujur atau basa -basi menjawabnya  pak’’, tanya balik supir taksi bernama Jusuf  berusia lanjut 60 tahun dengan polosnya. ‘’Saya bertanya seperti ini ‘’ kata Supir yang berperawakan tinggi besar,   karena tidak mau disebut pembohong ’’.

‘’ Jujur saya  katakan, katanya serius.   saya tidak tahu itu Polisi PRESISI. Yang saya ketahui  sekarang, Polisi itu  tidak professional dalam bekerja dan suka mengecewakan masyarakat pencari keadilan. Petugas Polisinya banyak yang bertindak bukan sebagai pelindung masyarakat. Mereka bertindak  penuh kebohongan kepada masyarakat, penuh rekayasa dan penuh ketidakbenaran. Hukum dibolak balik yang benar dikatakan salah yang salah dikatakan benar,” jawabnya polos.

Contoh mudahnya kata dia, peristiwa Polisi tembak Polisi di Kawasan Duren Tiga Jakarta Selatan.  Setiap hari kami sesama supir angkutan umum yang santai di warung kopi dekat bandara Sepinggan, Balikpapan  membicarakan peristiwa penembakan ini setelah melihat pemberitaan di media surat kabar dan TV.  Kami sesama supir taksi  menyimpulkan, bahwa  apa yang disampaikan oleh Polisi mengenai awal peristiwa pembunuhan ini, penuh dengan kebohongan, dan rekayasa.

“Anehnya, setelah peristiwa pembunuhan ini berlangsung kurang lebih satu minggu pimpinan Polri tidak meralatnya dengan suatu pernyataan bahwa keterangan awal dari Polres Jakarta Selatan dan Kadiv Humas Polri atas peristiwa ini merupakan   pembohongan publik. Dan tidak pernah ada penyataan permintaan maaf kepada masyarakat. ‘’  tuturnya.

Kapolri hanya menyebutkan setelah diperintahkan oleh Presiden Jokowi agar kasus ini dibuka seterang-terangnya, diketahui peristiwa ini bukan tembak menembak. Tapi suatu peristiwa pembunuhan dimana yang terlibat di dalamnya adalah mantan Kadiv Propam Mabes Polri Irjen FS bersama tiga orang  ajudannya dengan korban Bharada Josua .

Inilah salah satu contoh besar yang kami lihat di tubuh Polri sekarang ini. Rakyat diberi keterangan bohong atas suatu peristiwa kriminal yang menggemparkan jagat raya. Dan inilah pula  yang menyebabkan masyarakat tidak percaya kepada Polisi karena peristiwa pembunuhan itu disembunyikan sedemikian rupa selama tiga hari baru diumumkan kepada masyarakat.

Ketika diumumkan, rasanya tidak masuk diakal kami supir-supir taksi. Bagaimana bisa disebut tembak menembak terjadi di rumah seorang Jenderal lalu CCTCV di rumah itu rusak disambar petir. Dan ketika mayat korban yang sudah tersimpan di dalam peti jenasa sampai kekeluarga korban di Jambi, tidak bisa dibuka untuk diperlihatkan kepada keluarga.

” Disini kami orang awam yang buta hukum bertanya, ada apa dengan pelarangan peti jenasah korban tidak bisa dibuka oleh keluarga sebelum dikebumikan. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan,’’ kata supir taksi seperti mengutip  kata -kata pengacara keluarga Josua.

Keluhan masyarakat atas citra Polri  yang tidak baik ini, kemudian  ditindakan lanjuti oleh mantan anggota Komisi III DPR RI, Panda Nababan. Guru penulis ketika bersama menjadi wartawan di harian Sinar Harapan, menyebutkan dalam suatu dialog terbuka di forum pemberitaan TV, bahwa sudah saatnya Presiden Jokowi bertindak tegas dan keras membersihkan lingkup Polri yang citranya begitu terpuruk di tengah masyarakat pencari keadilan dan kebenaran.

‘’Oknum Petugas yang kedapatan merusak citra Polri dalam kasus Duren Tiga tidak perlu lagi diampuni dosanya. Langsung saja   dihadapan ke Dewan Kehormatan Kode Etik untuk ditindak tegas’’,  tuturnya.

Kalau kedapatan bersalah jatuhkan hukum seperti yang dialami oleh Irjen Pol FS, dipecat dari lingkup Polri  dan perkara pidananya dibawa ke Pengadilan. Dengan demikian Polisi akan terbebas dari jaringan oknum petugas  yang suka merusak citra Polri.

Menjadi pertanyaan penulis dengan terungkapnya kasus pembunuhan Polisi tembak Polisi di Duren Tiga Jakarta Selatan, dari mana Presiden Jokowi  akan memulai pembenahan lingkup Polri sekarang  ini yang sudah demikian parahnya ?. Apakah di mulai dari tingkat ekor, Polsek, Polres, atau Polda yang melibatkan oknum Polisi   dari tingkat Bintara sampai Perwira menengah, atau dimulai dari tingkat Mabes Polri yang melibatkan  Perwira tinggi ?.

Kalau menyeluruh sekali gus mulai dari tingkat Polsek sampai Mabes Polri yang melibatkan oknum berpangkat Bintara sampai Perwira tinggi, dapat dipastikan Presiden Jokowi tidak akan sanggup melaksanakan pembersihan di tubuh Polri yang  sejak tahun 1970 an bermasalah.

Tapi jika Presiden Jokowi mau memerintahkan Kapolri untuk membersihkan lingkup Polri yang kotor seperti yang disebutkan diatas dapat dimulai  pembenahan dari oknum Polri yang merusak nama institusi ini dalam kasus  Duren Tiga ditambah mereka yang dilaporkan oleh masyarakat sekarang ini, sebagai  tidak professional melaksanakan tugasnya. Penulis dapat memastikan pembersihan ini dapat dilaksanakan dengan baik oleh Polri sendiri asalkan ada kemauan dan keberanian.

Bawa semua oknum Polri yang bermasalah ke depan sidang Komisi Kode Etik Polri dengan mempersiapkan petugasnya dalam satu tim khusus.

Sama seperti dilakukan oleh Jenderal Pol Prof Dr Awaluddin Djamin Ketika memulai tugasnya memimpin  Polri pada tahun 1978 dimana lembaga yang dipimpinnya pada waktu itu dicap sebagai lembaga ‘’ Prit Jigo ‘’. Disebut demikian  karena oknum petugas yang diberi kekuasaan dari negara untuk menindak para pelaku kejahatan sampai ke pelanggar lalu lintas, asal diberi salam tempel ‘’ Rp 50.000’’ , langsung  perkaranya di deponir alias pelaku dibebaskan dari tuduhan penjahat atau pelanggar lalu lintas.

Begitu jeleknya image Polisi pada waktu itu sehingga Awaluddin yang merupakan ahli administrasi negara lulusan Amerika Serikat, berpikir seribu kali untuk memulai pembenahan di instansi yang dipimpinnya itu.

Ia memulai dengan pola pembenahan dari lingkup Polisi yang bersentuhan langsung dengan masyarakat seperti lalu lintas, reserse dan Samapta.

Dibenahinya dengan  rapih ketiga bagian yang ada dalam lingkup Polri dan ditunjuknya Perwira tinggi Polri yang punya reputasi tinggi di masyarakat untuk memimpin suatu Kepolisian tingkat Daerah yang punya kerawanan tinggi. Mereka yang ditunjuk untuk memimpin itu bukan hanya Perwira yang punya tanda kelulusan Akademi Kepolisian ( Akpol ) atau Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK)  atau yang punya kedekatan dengan Kapolri, tapi yang ditunjuk benar benar  adalah perwira tinggi yang punya kemampuan  profesionalisme Kepolisian  walaupun bukan lulusan Akpol dan PTIK.

Seperti menarik Kapolda Sumut Brijen Anton Sudjarwo menjadi Kapolda Metro Jaya. Menunjuk Brigjen Pol Drs Sudarmadji menjadi Kapolda Papua. Kedua Perwira tinggi ini bukan lulusan Akpol dan PTIK, tapi profesionalisme nya dibidang Kepolisian tidak diragukan lagi dalam membrantas pelaku kejahatan.

Demikian pula ketika mengangkat Brigjen Pol Dr Hadiman sebagai Kapolda Sumut. Perwira tinggi ini bukan lulusan Akpol dan PTIK. Ia merupakan dokter lulusan UI tapi punya kemampuan Brimob yang luar biasa besarnya.

Al hasil, sedikit demi sedikit, kepercayaan masyarakat terhadap Polisi sebagai lembaga terpercaya untuk berlindung dari gangguan pelaku kejahatan dan mencari keadilan dan kebenaran  dapat dicapai. Ketidakpercayaan masyarakat pada Polri pada waktu itu dengan  Pameo ‘’ jika kehilangan ayam jangan lapor Polisi karena akan menjadi kehilangan kambing ‘’, berangsur angsur hilang sampai sekarang ini.

Tapi kini muncul pameo yang lain ’’ jangan melapor ke polisi untuk mendapat  perlindungan serta keadilan jika tidak mau kecewa’’.  Pameo ini muncul  di tengah masyarakat pencari keadilan  karena diduga ada  ribuan laporan masyarakat selama 5 tahun terakhir tidak  tertangani secara professional.

Kalaupun tertangani baik oleh penyidik Polri,  waktu penanganannya akan berlangsung lama bertahun tahun sehingga menimbulkan rasa kekecewaan yang mendalam.

Sebagai contoh kasus pemalsuan dan penggunaan sertifikat tanah di Labuan Bajo NTT , sudah 10 tahun dilaporkan tapi hasilnya tidak pernah tuntas. Malah sebaliknya pelapor dijadikan tersangka oleh penyidik Polda NTT.

Demikian juga dengan kasus pelaporan dugaan penggunaan surat Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Timur tahun 1974 yang dilakukan oleh PT Pertamina Gas dan dilaporkan ke penyidik Polres Bontang sejak tahun 2020, hasilnya sangat mengecewakan pelapor karena di bulan juni lalu di putus dihentikan penyidikannya dengan alasan tidak ditemukan bukti pidananya.

Pelapor membantah alasan penyidik perkara ini karena selama dua tahun berjalan proses penyidikannya,  surat yang dijadikan barang bukti dalam kasus perdata di Pengadilan Negeri Bontang tidak pernah diperiksa oleh penyidik. Kekecewaan ini membuktikan kebenaran pameo yang beredar di tengah masyarakat sekarang ini bahwa ‘’ Jangan melapor ke Polisi kalau tidak mau kecewa’’.

Sementara Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo sebelum disetujui oleh Komisi III DPR untuk memimpin Polri pada tanggal 30 Januari 2021 telah memperkenalkan komitmennya untuk memperbaiki image Polri di tengah masyarakat pencari  keadilan dengan menyebut Polisi PRESISI.

Dalam komitmen ini disebutkan, menjadikan Polri sebagai institusi yang predektif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan ( Presisi) . Untuk itu selama memimpin Polri ,ia tidak ingin hukum tajam kebawah tumpul keatas. Kenyataannya di tengah masyarakat pencari keadilan, keingian Kapolri ini bertolak belakang.

Kalau kekecewaan masyarakat pencari keadilan ini terjadi di daerah nun jauh dari Ibukota Jakarta,  mungkin peristiwanya dapat dimaklumi  karena pengawasannya dari tingkat Mabes Polri tidak terlihat jelas.  Tapi kalau peristiwa kekecewaan ini terjadi di depan mata Kapolri, tidak tahu lagi masyarakat menyebutkannya apa.  Seperti yang penulis alami ketika melapor ke Polres Jakarta Pusat.

Pada akhir Maret lalu, penulis melapor ke penyidik Polres Jakarta Pusat dengan nomor laporan  666 sebagai telah terjadi suatu peristiwa pengrusakan sebagaimana diatur dalam pasal 170 KUHP. Hasil penanganan perkara ini tidak pernah ada walaupun sudah berlangsung lima bulan. Laporan ketidak profesionalan penyidik menangani perkara ini sudah disampaikan ke Propam Mabes Polri maupun ke Kapolda Metro Jaya hasilnya tetap mengecewakan penulis.

Begitu apatisnya masyarakat kepada Polri sekarang ini dalam bekerja untuk mengayomi, melindungi dan memberi kepastian hukum atas pengaduannya membuat apa yang disebut diatas ‘’ Jangan melapor ke Polisi jika tidak mau kecewa “ menjadi suatu pembenaran yang perlu segera diperhatikan oleh pimpinan Polri.

Program PRESISI yang dicanangkan oleh Kapolri Listyo Sigit Prabowo, menurut penulis gagal membawa manfaat bagi masyarakat pencari perlindungan dan keadilan di tanah air.

Program ini harus dilupakan karena hanya membawa penambahan kekecewaan bagi masyarakat pencari keadilan dan perlindungan hukum, jika  tidak diawasi pelaksanaannya di lapangan.

Untuk itu penulis menyarankan kepada Kapolri untuk memberi kepercayaan kepada media massa agar lembaga ini menjadi salah satu instansi yang dapat dijadikan laporannya sebagai lembaga pengawas di luar Polri. Sebab Jika Kapolri hanya berharap hasil  dari lembaga pengawas yang ada di dalam tubuh Polri seperti Irwasda, Propam, Warsidik Reserse hasilnya seperti sekarang ini. Semuanya asal bapak senang yang kenyataannya berbeda seratus delapan puluh derajat dengan keadaan di tengah masyarakat pencari keadilan.

Bukti manfaat diberinya kepercayaan lembaga media massa untuk menjadi pengawas kegiatan Polri sudah dilaksanakan oleh Kapolri Jenderal Pol Anton Sudjarwo sejak ia menjadi Kapolda Metro Jaya di tahun 1980. Demikian pula ketika Polri dipimpin Jenderal Pol Drs Kunarto pada tahun 1991.

Ketika Listyo baru meniti karie di Polisi setelah lulus dari Akademi Kepolisian di Semarang. Pers diberi kepercayaan penuh untuk menjadi lembaga pengawas Polri dari luar lembaga Polri sendiri.

Hasilnya dapat dirasakan oleh masyarkat pencari keadilan dengan sangat memuaskan. Tidak ada oknum Polri yang berani bermain menyakitkan hati masyarakat pencari keadilan karena mereka diawasi oleh lembaga media massa, semoga.

No More Posts Available.

No more pages to load.